Secara kronologis, sejarah perkembangan pemungutan pajak
pertambahan nilai di Indonesia meliputi:
Pajak Pembangunan I
Pajak Pembangunan I atau PPb I dipungut secara resmi per 1
Juli 1947 atas usaha rumah makan, penginapan dan penyerahan jasa di rumah makan.
PPb I berstatus sebagai pajak pusat yang menjadi pajak daerah sejak tahun 1957.
Pajak Peredaran Tahun 1950
Pajak peredaran ini agak berbeda yaitu pengenaannya
didasarkan atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan di Indonesia. Dikenakannya
secara berjenjang pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi,
menggunakan satu tarif 2,5% dan bersifat komulatif. Pemungutan pajak peredaran
ini tidak berlangsung lama.
Pajak Penjualan
Undang-Undang Darurat No. 19 tahun 1951 yang berlaku per 1
oktober 1951 selanjutnya menjadi Undang-Undang No. 35 tahun 1953 sebagai dasar
hukum pemungutan pajak penjualan yang dikenal dengan Pajak penjualan 1951 (PPN
1951). Pemungutan Pn 1951 ini menggunakan single stage tax pada tingkat
pabrikan (manufacturer’s sales tax).
Pajak Pertambahan Nilai
Sifat kumulatif pada Pajak Penjualan 1951 direformasi dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas barang mewah, yaitu pada saat reformasi sistem perpajakan
nasional. Karena pertimbangan kesiapan pelaksanaannya, maka secara efektif PPn
dan PPnBM berlaku per 1 april 1985. Ditinjau dari pengelompokannya, PPN ini termasuk
non commulative multi stage sales tax. Non commulative berarti mekanisme
pemungutan PPN dikenakan pada nilai tambah dari barang kena pajak dan jasa kena
pajak. Dengan Undang-Undang No. 11 tahun 1994 yang diberlakukan per 1 januari
1995 PPN dan PPnBM mengalami perubahan. Adanya perubahan atas Pajak Penjualan
menjadi Pajak Pertambahan NIlai dimaksudkan untuk menghindari terjadinya pajak
berganda yang dapat memudahkan terjadinya penggelapan pajak.